Skip to main content

Dimabuk Syair Romansa Ismail!

Basi sekali rasanya kalau-kalau aku perlu mengenalkan siapa dia di sini. Namanya telah tersohor di sana di sini, dalam negeri, luar negeri, di seluruh dunia! Setidak tahu-tidak tahunya orang akan siapa dia, sesedikitnya pernah lah orang itu dengar nama dia.

Ismail Marzuki, komponis legendaris Indonesia. (Sumber: CNN Indonesia)
Kenapa bisa kubilang sesedikitnya orang pasti pernah dengar namanya, sebab namanya diabadikan jadi tempat pusat kesenian di Jakarta; UPPK Taman Ismail Marzuki, atau sering juga dikenalnya dengan TIM. Kalau masih bingung biar kuberi tahu salah satunya: itu, tempatmu pergi melihat diorama-diorama galaksi dan seisinya di Planetarium, letaknya ada di Taman Ismail Marzuki.

Tapi, sebetulnya bukan itu yang jadi pokok tulisanku di sini. Aku mau menuliskan bahwa akhir-akhir ini aku benar-benar merasa sedang dimabuk syair-syair romansanya Ismail Marzuki! Bah!

Sungguh, kalau aku punya kesempatan untuk time traveling dan bertemu serta menghabiskan sehari dengan beberapa orang pilihanku, mungkin salah satunya bakal kupilih komposer ini, bakal kupilih Ismail Marzuki. Habisnya aku benar-benar gak habis pikir dengan apa sih yang ada di dalam kepala dan hatinya, sampai-sampai ia bisa bikin lagu yang syair liriknya indah nian...

Dari lagu nasional sampai lagu romansa, semua syair yang diciptanya sebagai lirik di dalamnya menurutku benar-benar bikin jatuh cinta secara sepenuhnya. Beberapa lagu nasional ciptaannya seperti Indonesia Pusaka, Gugur Bunga, Halo-Halo Bandung, dan Rayuan Pulau Kelapa. Sedang lagu romansa lainnya yang pernah ia cipta antara lain Aryati, Juwita Malam, Rindu Lukisan, dan Sepasang Mata Bola. 

Di antara kesemua lagu itu yang jadi kesukaan betul buatku adalah Rayuan Pulau Kelapa dan Juwita Malam. Sebetulnya sulit untuk bisa memilih, habis aku benar-benar suka semuanya, hahaha. Namun alasanku suka Rayuan Pulau Kelapa adalah... entahlah, rasanya aku sudah suka saat pertama kali aku dengar tiap-tiap syair liriknya. Aku ingat betul pertama kali kudengar lagu itu adalah sewaktu aku masih duduk di bangku SMP dan kudengar lagu ini dari acara televisi sewaktu Dirgahayu RI tahun itu. Reaksiku waktu pertama dengar itu adalah, jelas, bulu kudukku meremang! Duh, gusti, indah sih syairnya, tapi untuk aku saat itu belum paham apa maksud sebetulnya dari tiap-tiap bait syair lirik yang ditulis Ismail Marzuki di lagu itu. Walaupun sampai sekarang pun belum yakin sepenuhnya apakah pemahaman aku akan liriknya adalah benar. Kalau lagu Juwita Malam baru kudengar sepenuhnya dan benar-benar kuresapi (ya hiperbola sedikit...) sewaktu aku SMA, walaupun sebetulnya sudah familiar betul lagu itu di telingaku. Dan, ya, indah, boi. Pula Juwita Malam jadi lagu romansa pertama Ismail Marzuki yang kudengar sebelum kemudian aku memastikan aku benar-benar jatuh cinta pada tiap syair-syair ciptaannya dan mengulik lebih banyak lagi lagu romansa ciptaannya.

Yang terjadi padaku adalah tiga hari belakangan ini aku benar-benar maniak pada banyak lagu-lagunya Ismail Marzuki. Sejujurnya aku sudah sering dengar lagu-lagu komponis legenda ini; untuk temani aku makan, temani aku di jalanan, belajar, sampai tidur, tapi belum pernah aku perhatikan betul lirik-lirik lagunya. Maka itu, sekalinya aku coba perhatikan dan aku resapi (hiperbola lagi...) dan aku coba cari pula maksud di dalamnya, walah, dimabuk akuuu dengan semua syair-syairnya. Dipikat aku pada pemaknaan atas tiap-tiap syairnya. Dan, dibuatnya pula aku terngiang-ngiang dengan musik keroncong-jazz yang mengalun mendampingi syairnya. Akun Spotify-ku kini penuh sudah dengan banyak lagu-lagu ciptaannya.

Sekalipun sebenarnya bisa saja kalau kubilang banyak lagu romansa Indonesia saat ini yang mencoba sebisa mungkin berlirikkan lagu yang indah nan puitis bagi si penciptanya, namun tetap saja, rasanya sulit buatku untuk bisa cocok dan menyetujui pemaknaannya. 

Ah, gila. Benar-benar gila.

Satu-satunya hal yang aku sedihkan dan aku sayangkan dari semua kemaniakanku akhir-akhir ini adalah sulitnya mengakses dan menemukan versi original dari semua lagu-lagunya. Paling-paling yang aku temukan adalah lagu versi yang sudah dinyanyikan ulang, entah yang keberapa kali. Tapi sedapat mungkin aku coba dengarkan lagu versi 'bukan original' tersebut yang rilis terlebih dulu, dengan anggapan aransemen musik yang dilakukan tidak terlalu berlebihan daripada versi aslinya.

Ah, dan, ya, aku gak habis pikir membayangkan bagaimana rasanya hidup di era musik seperti itu. Kau pergi ke sana ke mari yang diputar lagu indah seperti itu. Kau pasang telinga dengar radio, yang mengudara lagu demikian.

Bah, baaaah,
Makin sajaaa aku merasa sepertinya aku lahir dan besar di era yang salah?

Comments