Tiap-tiap tempat yang dikunjungi manusia, beserta perintilannya—
besar, sedang, atau kecil; yang nyata dengan indera lihat, dengar,
atau rasa—
seringkali mampu membawa manusia kembali pada kenangan dan cerita.
-----
Yogyakarta yang kemarin kutandangi
terasa lebih hangat; persetan sedang musim apa saat itu. Ketimbang indera
pengelihatan, melalui indera dengarku kali ini dia mencoba meninggalkan kenangan.
Berbahagialah wargamu atas kotanya yang selalu terasa begitu dekat
dan akrab bagi tiap orang, sampai-sampai semua orang punya versi Yogyakartanya
masing-masing; dari andong Malioboro hingga Adhitia Sofyan. “Untuk apa
sebenarnya membagi-bagimu, toh kau tetap saja Yogyakarta”, pikirku. Tapi semenjak
tandangan kemarin itu, sudah kuputuskan bagaimana kota ini versiku: angkringan
Nat King Cole dan gudeg Katon Bagaskara.
Pada malam pertama kami sampai di kota ini dengan keadaan luar biasa lapar, sehingga hal pertama yang dilakukan adalah: makan. Benar, gudeg. Sembari menunggu, sekelompok pria dengan gitarnya berkali-kali mengetuk microphone di depannya, sambil sesekali meng-gonjrang-gonjreng-kan gitarnya (mereka lebih populer dengan istilah band live music). Mana ada ekspektasi ini-itu, paling-paling yang dinyanyikan lagu pop yang itu-itu lagi. Bosan.
Pada malam pertama kami sampai di kota ini dengan keadaan luar biasa lapar, sehingga hal pertama yang dilakukan adalah: makan. Benar, gudeg. Sembari menunggu, sekelompok pria dengan gitarnya berkali-kali mengetuk microphone di depannya, sambil sesekali meng-gonjrang-gonjreng-kan gitarnya (mereka lebih populer dengan istilah band live music). Mana ada ekspektasi ini-itu, paling-paling yang dinyanyikan lagu pop yang itu-itu lagi. Bosan.
Dengan perasaan bodo amat, tapi tetap kupasang telinga ke arah mereka yang sibuk di 'panggung'-nya. Petikan gitar pertama lagu itu sudah kelewat familiar bagi
telingaku; KLa Project. Yogyakarta. Sialan betul! Aku mau loncat(-loncat)! Baru
datang sudah disuguhkan lagu kesukaan, makin-makin saja terasa (sok) akrab
dengan kota ini. Ajaib, lelah akibat kelamaan duduk tetiba saja langsung hilang
berkurang.
Pada malam kedua (atau ketiga, kulupa), kehangatan kota ini
kuperoleh dari radio jadul di angkringan dekat alun-alun Gunung Kidul beserta peran seorang mas-mas
yang melulu dan buru-buru mengganti stasiun radio tiap kali lagunya (mungkin ia rasa) kurang pas. Suatu waktu, ibu jarinya berhenti memutar-mutar lingkaran
di atas radio, berhenti mencari stasiun radio.
Masih segar betul di ingatan, tepat ketika ibu jari si mas itu
berhenti, aku sedang makan bakwan pakai cabai rawit di bangku kayu, lalu ditemani suara Nat King Cole yang berat dan khas di lagu Quizas, Quizas,Quizas. Mendadak rasanya bukan seperti sedang makan di angkringan kalau
diiringi lagu seperti itu, tapi di… restoran fancy. Maaf, hiperbola.
Lagu itu sebenarnya bukan lagu kesukaan layaknya Yogyakarta, tapi
tiap kali kudengar lagu itu yang pertama terlintas di ingatan adalah miris-miris
namun manisnya ‘hubungan’ si Mrs. Chan dan Mr. Chow dari film In the Mood for Love (Wong Kar-Wai, 2000). Kali ini, bukan loncat-loncat yang mau kulakukan, tapi menonton ulang
film itu; sesegera mungkin. Secepatnya. Akhirnya, barulah kutonton ulang film itu ketika
sudah di rumah.
Kini, tiap kali kudengar kedua lagu itu, mengawang jauh
pemikiran kembali ke sana.
Kota yang hangat nan ramah. Kota yang dengan kesederhanaannya dapat menciptakan rindu lewat caranya sendiri, sehingga mampu membuat orang-orang tak juga bosan untuk mengunjungi walaupun sudah berkali-kali…….
(📷: Kamera Ponsel & Fujifilm MDL-9 (Fujicolor C200 + Kodak Colorplus 200))
Comments
Post a Comment